Indonesia: Production increase must fulfil right to food for all, says UN expert
GENEVA (19 April 2018) – Indonesia’s successful policies to increase rice production should be linked to fulfilling its obligation to the right to food for all, Hilal Elver, the UN Special Rapporteur on the right to food, has said.
“Indonesia has grown as one of the leading exporters of agricultural commodities and fish. It almost seems as if there is an abundance of food in Indonesia,” said the UN expert in a statement at the end of a 10-day visit to the country.
“But what strikes me is the irony that in a leading food-producing country 30 percent of children have stunted growth, and over 92 percent of the population eat considerably less fruit and vegetables than World Health Organization recommended levels.
“This is telling: food is not only about quantity but also about quality, accessibility and affordability. People living in remote areas have limited access to healthy food, and the poor population in cities are not able to afford fruits and vegetables, which are very expensive,” she added.
The Special Rapporteur noted that Indonesia was dealing with issues relating to over-consumption of staple foods such as rice and corn, and diets with not enough fruit and vegetables. She acknowledged that the Government had responded to the issue by adopting policies aimed at promoting food security and making nutrition a priority. But she said subsidies to achieve rice self-sufficiency did not help to promote a more diverse and healthy diet.
“I commend the efforts of the Government and encourage it to take a holistic approach to its food policies while adopting a human rights based approach to food security. It should also improve its food and nutrition policies by ensuring accessibility to food - economically and physically, availability and adequacy of quality food while eradicating root causes for food vulnerability including poverty. The Government should pay extra attention to those living in remote areas, highlighting the plight of landless peoples and people living in poverty,” the expert stressed.
Although urbanisation is proceeding rapidly, the majority of Indonesians, especially farmers, fishing and indigenous communities and peasants live in areas where access to a variety of food, which is necessary for a healthy diet, is often extremely limited.
The UN expert explained that the Government was facing a number of challenges over implementing the right to food. They include conflicts over land ownership as a result of large-scale land and water acquisitions, as well as problems arising from the legalisation of traditional land tenure, while fishing communities were becoming more vulnerable because of depletion of fish stocks and illegal fishing. Additional problems arose from industrial palm oil and mining operations, involving development projects that threatened livelihoods, and caused environmental pollution. Indonesia had also been hit adversely by climate change along its extensive coastal zones, she added.
Ms. Elver said: “One Government official told me, ‘I agree challenges are opportunities - opportunities for improvement and towards the full realisation of the right to food for all in Indonesia.’ So, I encourage the Government to take advantage of this opportunity and work toward improving food policies in ways that are responsive to human rights.”
The Special Rapporteur’s final report will be presented to a forthcoming session of the UN Human Rights Council in Geneva.
ENDS
Ms Hilal Elver (Turkey) was appointed Special Rapporteur on the right to food by the Human Rights Council in 2014. She is a Research Professor, co-director of the Project on Global Climate Change, Human Security and Democracy housed at the Orfalea Center for Global & International Studies, and global distinguished fellow at the University of California Los Angeles Law School (UCLA) Resnick Food Law and Policy Center.
The Special Rapporteurs are part of what is known as the Special Procedures of the Human Rights Council. Special Procedures, the largest body of independent experts in the UN Human Rights system, is the general name of the Council’s independent fact-finding and monitoring mechanisms that address either specific country situations or thematic issues in all parts of the world. Special Procedures’ experts work on a voluntary basis; they are not UN staff and do not receive a salary for their work. They are independent from any government or organization and serve in their individual capacity.
For more information and press inquiries, please contact:
In Geneva Soo-Young Hwang (++41 22 917 9267 / shwang@ohchr.org )
For media inquiries related to other UN independent experts please contact
This year is the 70th anniversary of the Universal Declaration of Human Rights, adopted by the UN on 10 December 1948. The Universal Declaration – translated into a world record 500 languages – is rooted in the principle that “all human beings are born free and equal in dignity and rights.” It remains relevant to everyone, every day. In honour of the 70th anniversary of this extraordinarily influential document, and to prevent its vital principles from being eroded, we are urging people everywhere to Stand Up for Human Rights: www.standup4humanrights.org.
_______________________________________
Bahasa Indonesia version below
Indonesia. Peningkatan produksi harus memenuhi hak atas pangan untuk semua, kata ahli PBB
JENEWA (19 April 2018) - Kebijakan Indonesia yang sukses dalam meningkatkan produksi beras harus dikaitkan dengan pemenuhan kewajibannya terhadap hak atas pangan untuk semua, ungkap Hilal Elver, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan.
“Indonesia telah tumbuh sebagai salah satu eksportir komoditas pertanian dan ikan terkemuka. Kelihatannya seolah-olah ada banyak makanan di Indonesia,” kata sang ahli PBB dalam sebuah pernyataan di akhir kunjungan 10 hari ke negara itu.
“Tapi apa yang mengejutkan saya adalah ironi bahwa di suatu negara penghasil makanan terkemuka, 30 persen anak-anak mengalami pertumbuhan yang terhambat, dan lebih dari 92% penduduknya makan buah dan sayuran jauh lebih sedikit daripada tingkat yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ini menandakan bahwa: makanan bukan hanya tentang kuantitas tetapi juga tentang kualitas, aksesibilitas, dan keterjangkauan. Orang-orang yang tinggal di daerah terpencil memiliki akses terbatas terhadap makanan sehat, dan penduduk miskin di perkotaan tidak mampu membeli buah dan sayuran, yang harganya sangat mahal,” tambahnya.
Pelapor Khusus mencatat bahwa Indonesia berurusan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi makanan pokok yang berlebihan seperti beras dan jagung, serta pola makan yang tidak mengandung cukup buah dan sayuran. Ia mengakui bahwa Pemerintah telah menanggapi masalah ini dengan mengadopsi kebijakan yang bertujuan mempromosikan ketahanan pangan dan menjadikan gizi sebagai prioritas. Namun dia mengatakan, subsidi untuk mencapai swasembada beras tidak membantu mengkampanyekan pola makan yang lebih beragam dan sehat.
“Saya memuji upaya Pemerintah dan mendorong Pemerintah untuk mengambil pendekatan holistik terhadap kebijakan pangannya sambil mengadopsi pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk ketahanan pangan. Juga harus meningkatkan kebijakan pangan dan nutrisi dengan memastikan akses terhadap pangan - secara ekonomi dan fisik, ketersediaan dan kecukupan pangan berkualitas, sambil menghapus akar penyebab kerentanan pangan termasuk kemiskinan. Pemerintah harus memberi perhatian ekstra kepada orang-orang yang tinggal di daerah terpencil, menyoroti penderitaan masyarakat yang tidak memiliki lahan dan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan,” tegas sang pakar.
Meskipun urbanisasi berjalan dengan cepat, mayoritas orang Indonesia, terutama petani, nelayan dan masyarakat adat serta pekebun tinggal di daerah yang seringkali memiliki akses sangat terbatas ke berbagai makanan, yang diperlukan untuk pola makan yang sehat.
Pakar PBB ini menjelaskan bahwa Pemerintah menghadapi sejumlah tantangan terkait penerapan hak atas pangan. Di antaranya termasuk konflik kepemilikan lahan sebagai akibat dari akuisisi lahan dan air berskala besar, serta masalah yang timbul dari legalisasi penguasaan lahan tradisional, sementara masyarakat nelayan menjadi lebih rentan karena menipisnya stok ikan dan penangkapan ikan ilegal. Masalah tambahan muncul dari industri minyak sawit dan operasi penambangan, yang melibatkan proyek-proyek pembangunan yang mengancam mata pencaharian penduduk serta menyebabkan pencemaran lingkungan. Indonesia juga terkena dampak negatif perubahan iklim di sepanjang zona pesisirnya yang luas, ia menambahkan.
Ms Elver berkata: “Seorang pejabat Pemerintah mengatakan kepada saya, 'Saya setuju tantangan adalah peluang - peluang untuk peningkatan dan menuju perwujudan penuh hak atas pangan untuk semua orang di Indonesia.' Jadi, saya mendorong Pemerintah untuk memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperbaiki kebijakan pangan dengan cara yang responsif terhadap hak asasi manusia.”
Laporan akhir Pelapor Khusus akan dipresentasikan pada sesi Dewan Hak Asasi Manusia PBB mendatang di Jenewa.
SELESAI
Hilal Elver (Turki) ditunjuk sebagai Pelapor Khusus Hak Pangan oleh Dewan Hak Asasi Manusia pada tahun 2014. Elver adalah seorang Profesor Riset, dan salah satu direktur Proyek tentang Perubahan Iklim Global, Keamanan Manusia, dan Demokrasi yang bertempat di Orfalea Center untuk Pusat Studi Global & Internasional dan anggota terhormat di University of California Los Angeles Law School (UCLA) Resnick Food Law and Policy Center.
Pelapor Khusus adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia.Prosedur Khusus, badan ahli independen terbesar dalam sistem Hak Asasi Manusia PBB, merupakan nama umum dari mekanisme pencarian fakta independen dan mekanisme pemantauan yang membahas situasi negara tertentu atau masalah tematik di seluruh bagian dunia. Ahli Prosedur Khusus bekerja secara sukarela; mereka bukan staf PBB dan tidak menerima gaji untuk pekerjaan mereka. Mereka terlepas dari pemerintahan atau organisasi manapun dan melayani dalam kapasitas masing-masing.
Untuk pertanyaan dan keperluan media, silahkan menghubungi:
Untuk pertanyaan media terkait dengan ahli independen PBB lainnya, silahkan hubungi Jeremy Laurence, UN Human Rights – Media Unit (+41 22 917 9383 /jlaurence@ohchr.org)
Tahun ini, 2018, adalah peringatan ke-70 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi Universal – diterjemahkan ke dalam rekor dunia 500 bahasa – berakar pada prinsip bahwa “semua manusia dilahirkan bebas dan setara dengan martabat dan hak”. Hal ini relevan untuk semua orang, setiap harinya. Untuk menghormati peringatan ke-70 dokumen yang sangat berpengaruh ini, dan untuk mencegah prinsip-prinsip penting di dalamnya agar tidak terkikis, kami mengajak semua orang di mana saja untuk Berdiri untuk Hak Asasi Manusia:www.standup4humanrights.org
=================================================================================
Subscribed and Published By
ANJAN KUMAR SAMAL
ON BEHALF OF The Last Hope(Regd. Society ,Working
for Restoring Human Right Across the Globe)
FOR UNITED NATIONS -HUMAN RIGHT URGENT
RELEASE
TO RESTORE HUMAN RIGHT ACROSS THE GLOBE